Selasa, 24 Mei 2011

Solo Indie Touring #2

Sabtu pagi di Koto Solo. Matahari tanpa malu-malu menyapa setiap warga solo dengan hangat. Di stadion Manahan, sejumlah warga sedang berolahraga. Ibu-ibu, bapak-bapak, pemuda dan anak-anak sekolah sibuk dengan rutinitasnya masing-masing, mengisi pagi dengan gerakan-gerakan sehat. Manahan berdiri gagah. Stadion ini adalah kandang dari klub sepakbola Persis Solo dan Solo FC. Dan disinilah pada setiap pertandingannya Pasoepati (Julukan Suporter Sepakbola Kota Solo) yang akan memerahkan tribun-tribun. Solo adalah kota bersejarah bagi sepakbola Indonesia. Tahun 1930, kongres di Solo menghasilkan nama Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang masih dipakai hingga sekarang. Di bagian lain Kota Solo, sedang ada hajatan besar. Taman Budaya Jawa Tengah menjadi saksi pembukaan Pekan Informasi Nasional yang kali ini digelar oleh Kota Solo. Sejumlah Menteri, Gubernur Jawa Tengah dan para Kepala Pemerintahan dari tiap kota di Jawa Tengah turut hadir menyaksikan pembukaan PIN.

Stadion Manahan
Sudut Stadion Manahan
Sabtu pagi menjelang siang, selepas chek out, saya berkunjung ke kompleks Taman budaya Sriwedari. Beruntung pagi itu ada pertunjukan wayang orang ”Gatot Kaca”. Pagi itu saya menonton pertunjukan wayang orang dengan gratis, karena bersamaan dengan rombongan dari diknas.

Wayang Orang
Usai menonton pertunjukan wayang orang saya ngesot ke Museum Radya Pustaka yang berada di sebelah taman Budaya Sri Wedari. Di Museum tersebut terdapat sejumlah barang pusaka dan antik. Di museum tersebut pula terdapat koleksi buku-buku tua yang tersimpan rapi di perpustakaan Radya Pustaka, tepat ruang ditengah museum tersebut.

Meriam di depan Museum
Patung Penghuni Museum
Arca : Jangan di sentuh
Seperangkat Gamelan
Gong Gamelan
Dari Museum Radya Pustaka, saya melanjutkan mencari sarapan, dan kemudian menuju Masjid Agung Surakarta yang terletak di kompleks Keraton Surakarta Hadiningrat. Begitu saya masuk kedalam masjid, saya melihat sejumlah manusia bergelimpangan tidur di serambi Masjid. Seperti halnya masjid Mangkunegaran, Masjid Agung Surakarta juga menjadi tempat favorit untuk melepas lelah. Masjid Agung Surakarta dibangun sejak Raja Surakarta Pakubuwono III dua abad silam. Arsitekturalnya yang anggun dan kemegahan yang terlihat dibalik sejarah panjang masjid ini sukses membuat saya kagum. Terlebih karena keramahan bangunannya yang mau menampung orang-orang untuk beristirahat.

Gerbang Masjid Agung Surakarta
Masjid Agung Surakarta
Suasana Siang di Serambi Masjid Agung Surakarta
Usai sholat dzuhur dan menjamak sholat ashar, saya sejenak berkeliling kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat, sambil menunggu Karnaval Kirab Budaya. Tembok-tembok besar yang dibatasi gang-gang membuat kompleks keraton semakin terasa eksotis. Wisatawan lokal dan mancanegara terlihat sumringah diatas becak yang dikayuh di sekeliling kompleks keraton. Sejumlah cinderamata dijajakan oleh para pedagang, menggoda setiap para pelancong yang berjalan didepannya.

Gerbang Keraton
Kawasan Kraton Surakarta Hadiningrat
Pukul tiga siang, saya telah bersiap-siap di sisi jalan Slamet Riyadi, mencari tempat yang strategis untuk melihat Kirab Budaya Nusantara. Karnaval Budaya ini akan mulai start pukul dua dari lapangan Kota barat. Semakin sore, Jalan Salamet Riyadi penuh sesak oleh warga Kota Surakarta. Keceriaan seluruh warga membaur di sisi jalanan. Para pedagang pun tak mau kehilangan moment, mereka berlomba-lomba mengais rezeki dari meriahnya karnaval budaya, seolah hari itu adalah hari baik mereka mengumpulkan pundi-pundi untuk kelangsungan hidup.

Menjelang Kirab Budaya Nusantara
Selang beberapa jam, arak-arakan mulai terlihat dari kejauhan. Barisan marching band adalah barisan terdepan dalam karnaval ini. Para tentara dengan gagahnya menabuh drum, meniup terompet, dan melakukan atraksi-atraksi. Kemudian diikuti barisan paskibra yang membentangkan spanduk besar Kirab Budaya Nusantara. Pasukan berbaju merah dan biru seolah mengawal kereta kencana yang berada dibelakangnya. Lalu diikuti hewan-hewan besar seperti gajah, unta, dan kuda yang ditunggangi oleh para wayang dan tentara. Sejumlah adat budaya dari perwakilan daerah pun turut meramaikan arak-arakan karnaval. Dan yang tak mau kalah adalah barisan anak-anak sekolah yang menampilkan pernak-pernik kreativitasnya, menjadi model dan pentas seni jalanan.

Kirab Budaya Nusantara
Parade karnaval Kirab Budaya Nusantara menjadi hiburan gratis warga Kota Solo. Sekitar pukul lima sore, parade berakhir. Saya melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta untuk singgah dan mengejar film The Mirror Never Lies yang tak kunjung muncul di Semarang. Saya menancap gas, meninggalkan Kota Solo. Seperti saat datang, saat pulang pun Kota Solo mengantarkan kepergian saya dengan mendung. Kota budaya akan selalu dirindukan oleh para wisatawan, begitu pun Solo yang menjadi Spirit of Java.

*Gallery Foto Kirab Budaya Nusantara ada pada postingan selanjutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar