Senin, 23 Mei 2011

Solo Indie Touring #1

Kali ini saya berkesempatan menyambangi salah satu kota budaya di Jawa Tengah. Solo. Sebuah kota yang saat ini sedang naik daun karena keberhasilan sang walikota yang sukses meningkatkan image kota menjadi kota lebih berbudaya dan humanis. Ini adalah indie touring kesekian kalinya dengan motor Legenda saya. Saya beri nama perjalanan kali ini Solo Indie Touring. Sesuai dengan itinerary yang telah dibuat, saya berangkat jumat (20/5) pukul 10 pagi. Saya menempuh rute Semarang-Ungaran-Salatiga-Boyolali-Solo. Sekitar pukul satu saya sampai di Solo, setelah sempat singgah untuk sholat jumat di Boyolali.


Mendung menyambut saya di kota solo. Siang itu Jalan Slamet Riyadi tak begitu ramai. Sesaat saya menghentikan motor, untuk kemudian menyimpan beberapa perlengkapan dan sejenak merebahkan punggung di penginapan. Belum pula berniat keluar untuk keliling, hujan deras mengguyur. Riuh butir-butir hujan jatuh didepan teras kamar tempat saya menginap. Mata yang tak mampu menahan kantuk, akhirnya terlelap. Lumayan, saya habiskan beberapa waktu di dalam mimpi abstrak.

Hari menjelang sore, setelah sholat ashar, saya iseng menyambangi Solo Grand Mall, membeli peta Solo untuk menambah koleksi peta saya. Tak diduga saya tergoda saat melihat banner Film Batas. Akhirnya saat itu pula saya putuskan untuk menonton, dan saya menghianati rencana saya yang harusnya sore itu bertandang ke Laweyan. Tak apalah, memang ngebet jg nonton film ini. Pendapat pribadi setelah nonton Batas, Not bad lah, walaupun konfliknya kurang greget, dan alurnya membuat saya ngantuk. Setidknya film ini sudah berani bercerita tentang kondisi Indonesia di garis perbatasan.

Usai nonton, saya memacu kendaraan menuju masjid mangkunegaran. Saat duduk di teras masjid, saya berjumpa dengan seorang ibu, dan kemudian beliau bercerita tentang keluarganya. Ternyata si ibu ini adalah pengurus masjid tersebut. Beliau bercerita tentang suaminya yang dulu adalah bendahara masjid. Kemudian semenjak ditinggal wafat suaminya, ibu yang dikenal dengan panggilan mbah hadi ini tak pernah pulang ke rumah, dan tinggal di masjid. Beliau bilang kalo mau tidur di masjid ini juga ga papa. Memang pada malam hari, masjid mangkunegaran yang kini dikenal dengan nama Masjid Al-Wustho akan penuh dengan para tukang becak atau pedagang yang tidur disana. Masjid ini adalah tempat favorit untuk bermalam, karena aman. Lain kali masjid ini bisa jadi opsi untuk tempat bermalam di Solo. Tak terasa, matahari sudah meredup tenggelam di ufuk barat. Sebentar lagi adzan magrib berkumandang. Saya menyegerakan untuk berwudhu. Sebelum melanjutkan perjalanan, saya ingin menghadap Sang Kuasa.

Puro Mangkunegaran
Saya kembali memutar gas motor bakda sholat magrib ke arah puro mangknegaran. Malam itu saya berniat melihat Mangkunegaran Performing Art. Event yang di selenggarakan di Puro Mangkunegaran ini adalah bagian dari sejumlah agenda Pekan Informasi Nasional yang dilaksanakan di Kota Solo. Sejumlah agenda budaya akan digelar di berbagai tempat di Kota Solo selama satu pekan. Malam itu ada 4 tarian yang dipersembahkan untuk warga solo, para penikmat seni, fotografer, dan para wisatawan yang berkunjung ke puro mangkunegaran. Empat tarian tersebut adalah Gambyong Pareanom, Srimpi Pandelori, Wireng Narayana Kalakresna, dan Bregodo Pareanom.

Tim Gamelan
Tari Gambyong Pandelori
Tari Gambyong Pandelori
Penari Srimpi Pandelori
Tari Srimpi Pandelori
Tari Srimpi Pandelori
Tari Wireng Narayana Kalakresna
Tari Bregodo Pareanom
Waktu semakin malam, sekitar pukul sepuluh, pergelaran tari puro mangkunegaran usai. Perut keroncongan mendera. Tak tahan, saya langsung mencari wedangan (angkringan/kucingan) terdekat, mencoba menenangkan gemuruh di perut saya. Saya embat 2 nasi bungkus dan 2 gorengan plus es teh manis yang tak sampai merogoh kantong saya terlampau dalam. Memang warung kaki lima seperti wedangan/angkringan/kucingan khas kota-kota di jateng adalah tempat yang paling manusiawi untuk menyantap makanan murah meriah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar