Selasa, 12 Juli 2011

Cerita Saya dari Aceh


Aceh, negeri indah di ujung barat sumatera, titik nol kilometer Indonesia. Tak pernah terbayang sebelumnya saya berada di tanah rencong ini, apalagi untuk tinggal berbulan-bulan. Tapi sudah hampir 3 minggu saya menghabiskan masa disini, di tanah aceh. Kekaguman saya yang dulu hanya sempat saya saksikan di buku-buku atau internet, kini menjadi nyata. Di tanah inilah Daud Beureuh, Teuku Cik di Tiro, Cut Nyak Dien, dan Malahayati memperjuangkan aceh dari gangguan tangan-tangan busuk penjajah. Di tanah ini pula romantisme, ketegangan, dan kepiluan sungguh amat sangat terasa, membunuh sejuta penasaran, membuktikan semua pertanyaan. Kisah heroik DI/TII oleh Daud Beureuh, Masa-masa menegangkan konflik, dan kepiluan tragedi tsunami, membuat saya jatuh cinta dengan negeri ini.

Setelah sehari saya menginjakkan kaki di Banda Aceh, lagi-lagi sebuah anugerah mengantarkan  saya untuk bisa berkeliling pesisir laut timur dan barat. Mulai dari Banda Aceh hingga langsa, mulai dari Singkil hingga kembali ke Banda Aceh. Kurang lebih satu pekan saya habiskan perjalanan. Walaupun tujuannya bukan untuk berwisata, kesempatan roadshow ini tak boleh saya sia-siakan. Mengunjungi hampir semua Kabupaten untuk mengumpulkan informasi kerja membawa saya ke sejumlah tempat yang memiliki karakter-karakter unik. Tak lupa dalam perjalanan menyisipkan mampir di tempat-tempat makan yang khas. Lengkap sudah kepuasan saya. Melewati pesisir pantai, menerobos lika-liku bukit barisan dan hutan sawit, serta menyebrangi muara dengan rakit adalah penyedap perjalanan.

Aceh, berbeda dengan jawa. Kultur, kekayaan alam, pemerintahan, bahkan urusan harga. Kearifan lokal Aceh menyimpan sejuta pesona. Dalam sejarahnya, Aceh selalu istimewa. Pernah dalam suatu masa, seluruh rakyat Aceh mengumpulkan kekayaan untuk membeli pesawat tempur bagi Indonesia. Yang tentunya tak bisa dilupakan adalah kepiluan tsunami dan ketegangan konflik. Namun semua itu sudah berlalu. Aceh kini hidup nyaman dalam damai. Kehidupan masyarakat kembali normal, ekonomi semakin tumbuh pesat, syariat bisa menjadi dasar pemerintahan.

Bercerita Aceh tak akan luput dari makanan khas. Sekali lagi, Aceh memberikan nuansa berbeda dalam masalah kuliner. Sejumlah makanan khas dapat disantap di setiap sisi kota Banda Aceh. Mulai dari Mie Aceh, Sate Matang, Mie kepiting, Gulei kambing dan bebek, Ayam tangkap, dan sejumlah makanan lainnya yang penuh citarasa. Belum selesai membahas makanan, tentunya tak akan terlupakan di Aceh adalah membahas masalah kopi. Hampir semua di wilayah Aceh, terutama di pusat-pusat kota, akan tersebar sejumlah warung kopi, baik yang berukuran kecil, maupun besar dan lengkap pula dengan sejumlah fasilitas. Warung kopi adalah tempat favorit masyarakat Aceh, baik tua maupun muda untuk menghabiskan waktu-waktu luang. Dan masing-masing warung kopi, mempunyai supir (sebutan untuk koki kopi) yang handal untuk meracik kopi. Beberapa kopi yang menurut saya khas adalah kopi Berawi (di belakang Mall Hermes) dan kopi Ulee Kareng. Namun yang menjadi catatan adalah, setiap warung kopi pasti akan ramai, siaang ataupun malam, terutama di Banda Aceh.

Masih ada waktu 3-4 bulan lagi, saya akan stay di Aceh. Pasti akan muncul kejutan-kejutan baru, pengalaman-pengalaman baru yang akan saya dapatkan.